Oleh : M. Jamil
Alkisah terdapat seorang Pengembala biri-biri di mana ia senantiasa menjaga, merawat dan
memberi makan beberapa ekor biri-biri
nya dengan melepaskannya ke sebuah
padang rerumputan di dekat bukit. Dari hari ke hari pekerjaan nya senantiasa ia
lakukan tanpa keluh kesah, entah kenapa siang itu ia merasa jenuh dengan
rutinitas yang ia lakukan. Seolah mendapat obat pelepas kejenuhan ia pun
berdiri dan melangkahkan kakinya kearah bukit dan berteriak ‘’tolong, tolong,
tolong ada srigala yang akan memangsa biri-biri saya”. Mendengar teriakan sang
pengembala dari arah bukit, para petani bergegas dengan berlari-lari menuju
tempat si pengembala. Setiba di tempat pengembala, Petani bertanya kepada si
pengembala tentang keberadaan srigala yang akan memangsa biri-birinya.
Walhasil si pengembala tertawa
terbahak-terbahak, membuat para petani heran melihat tingkah si pengembala, dan
akhirnya si pengembala menyatakan bahwa ia hanya bergurau saja. Para petani
terlihat kesal dengan perbuatan si pengembala dan pergi meninggalkan pengembala, kembali ke rutinitas
pekerjaannya. Setelah membohongi para petani, si Pengembala tidak merasa
bersalah justru ia merasa menemukan sebuah kepuasaan tersendiri melakukan hal
tersebut, bahkan ia mengulangi lagi perbuataannya dengan teriakan serupa. Para
petani dengan itikad baik kembali bergegas menuju tempat si Pengembala,dan
menanyakan hal yang serupa tentang keberadaan srigala. Pengembala menjawab
dengan tertawa hingga berbaring-baring di padang rumput memegang perutnya dan
menyatakan perutnya sakit karena tertawa. Melihat perbuatan si pengembala,
salah seorang petani dengan kesal menyatakan kepada pengembala, jika terjadi
sesuatu kepada si pengembala dan meminta pertolongannya maka mereka tidak akan
datang untuk membantu. Para petani pergi meninggalkan pengembala dan kembali ke sawah mereka.
Tak selang beberapa lama, bohongan si pengembala benar-benar terjadi,
segerombolan srigala yang sedang kelaparan datang dan dengan sekejap melahap
habis biri-biri yang ia gembalakan. Pengembala pun tak mampu menghalau dan
menghentikan srigala memangsa biri-birinya, ia pun berteriak kembali minta tolong kepada para petani, sayang para
petani sudah kehilangan kepercayaan terhadap si pengembala dan mengangapnya
sebuah bohongan gurauan sebuah tindakan yang sama ia lakukan. Hingga akhirnya tinggalah
si pengembala menangisi kehilangan biri-birinya.
Oleh karena itu Islam melarang
dan mendidik umatnya untuk berkata jujur dan tidak berbohong walaupun hanya
bersifat candaan ataupun gurauan. Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda:
Dari Bahz bin Hakim, dari
ayahnya, dari kakeknya Radiyallahu’anhum, ia berkata: Rasulullah
Shalallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda: “Sungguh celaka orang yang berbicara lalu ia berbohong untuk sekadar
membuat orang-orang tertawa. Sungguh celaka dia, kemudian sungguh celaka dia.” (Diriwayatkan
oleh tiga Imam: Abu Dawud, Nasa’i, dan
at Tarmizi dan sanadnya kuat).
Dalam sebuah hadist lain
Rasullullah melarang berbohong atas nama guruan karena berhubungan dengan kesempurnaan
iman seorang;
Rasullullah bersabda : Tidak sempurna iman seseorang sampai ia
meninggalkan kebohongan ketika bercanda dan meninggalkan perdebatan meski ia
pada posisi yang benar (HR. Ahmad, At-Thabrani);
Berkata bohong memiliki esensi sosial
maupun teologi, esensi sosial yaitu menghilangkan kepercayaan dari individu
maupun masyarakat. Jika sebuah kepercayaan
seorang individu terhadap individu lain maupun masyarakat telah hilang di
perlukan waktu yang cukup lama untuk memperolehnya kembali. esensi Teologi
berkaitan dengan kualitas keimanan bagi mereka yang menghindari berkata bohong.
Semoga Allah memberikan kekuatan dan hikmahnya kepada kita Allahuma amin
0 komentar:
Posting Komentar