|
Ilustrasi : Sitenar.com |
Oleh: M. Jamil
Siapakah orang yang bijaksana? apakah
Seorang yang memiliki atau menguasai ilmu pengetahuan secara ilmiah, empiris dan teoritis? Atau
mungkin seorang yang memiliki kedudukan serta kekayaan harta dunia? Atau seorang
yang pandai berbicara dengan kata-kata yang susah di mengerti?. Sebelum menjawab
pertanyaan di atas, mungkin ada baiknya kita melihat arti kata bijaksana itu
sendiri di dalam kamus bahasa Indonesia yang memiliki beberapa definisi di
antaranya :
(1)
Selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan
pengetahuannya); arif; tajam pikiran;
(2) Pandai
dan hati-hati (cermat, teliti, dsb) apabila menghadapi kesulitan
Berbeda dengan definisi kamus Bahasa
Indonesia seorang filosof yunani, Socrates (470-399 SM) mengajarkan kepada kita bahwa orang yang
bijaksana adalah orang yang mengetahui dirinya tidak mengetahu apa-apa. Lalu
mengapa orang yang tidak mengetahui apa-apa
justru dapat menempati posisi sebagai orang bijaksana?. Bukankah dengan
tidak mengetahui apa-apa ia tidak dapat melakukan apa-apa? Memang bukan filosof
namanya jika sebuah pernyataannya tidak mengandung syarat dan makna. Tapi ada
baiknya terlebih dahulu kita memahami aspek sosiologis masyarakat Anthena pada
waktu itu yang tak lain tempat kelahiran hingga kematian Socrates.
Anthena pasca 450 SM merupakan pusat kebudayaan, Titik
focus kajian filsafat pun mulai bergeser dari objek hakikat alam semesta
bergeser kearah manusia itu sendiri salah satunya dalam konteks kedudukannya dalam masyarakat. Dari
sisi ini muncul istilah demokrasi, dan tentunya demokrasi memerlukan
individu-individu yang memilliki kemampuan untuk berdemokrasi. Kemampuan untuk
berdemokrasi memerlukan mekanisme ilmiah agar masyarakat memiliki kepercayaan terhadap
individu tertentu. Nah di jaman Socrates untuk menyakinkan seorang dapat di
tempuh dengan cara menguasai seni berpidato, cara ini mirip dengan yang di
lakukan masyarakat arab di zaman jahiliah hanya saja tujuan mereka tak lain merupakan ajang memperlihatkan
kebangggan bagi masing-masing clan atau suku. Kesempatan seperti ini tidak di sia-siakan oleh sekelompok orang yang
terdiri dari guru dan filsof serta menamakan diri mereka kaum sophis. Sophis memiliki
makna seorang yang bijaksana dan berpengetahuan. Namun sayang Kaum sophis
menjajakan kemampuan sebagai mata pencarian dengan dalih mendidik warga negara,
metode yang di gunakan pun lebih
bersifat satu arah dan terkesan menggurui. Hal inilah yang menimbulkan kritkan
dari Socrates terhadap kaum sophis, namun kritikan Socrates terhadap kaum
sophis tidak bersifat frontal. Kritkan Socrates ditempuh dengan ungkapannya yang menyatakan
bahwa ilmunya itu seperti seorang bidan, tugasnya hanya membantu orang-orang melahirkan
wawasan yang benar, sebab pemahaman sejati harus timbul dari dalam diri
sendiri. Socrates menjadi ‘’seorang bidan” dengan menempuh cara berdiskusi
dengan lawan bicaranya bahkan dia memberi kesan selalu ingin belajar dari orang
yang di ajaknya berbicara bukan menggurui.
Dari sini pula lah Socrates
mengungkapkan sebuah kalimat yang cukup masyur ‘’orang yang bijaksana adalah
orang yang mengetahui dirinya tidak tau ”. kali ini Socrates benar-benar
mendidik kita dengan tidak tau apa-apa
menjadikan kita untuk senantiasa, membaca, dan mengkaji hal ini sesuai dengan perintah
atau wahyu pertama yang turunkan oleh Allah swt kepada malaikat Jibril kepada Rasulullah,
Nabi Muhammad SAW. Dari, membaca dan mengkaji mengantarkan kepada kita kepada sikap
rendah diri karena sedikit sekali yang kita ketahui dan bahkan kita menemukan suatu
hal ketidaktahuan kita dan ia bisa hilang sedikit demi sedikit karena penyakit
lupa. Menjadi bijaksana solusi praktis mengarungi lautan kehidupan. Allahu alam