|
Ilustrasi sebuah Halaqah |
Oleh: M. Jamil
Malam Rabu
ba’da sholat Isya, Mesjid kami ‘’Nurul Muslimin” yang terletak di Jalan Adi Sucipto Km. 15 Desa
Limbung Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya selalu ramai di penuhi para
Jamaah. Mereka duduk dengan tenang
sambil bersila membentuk formasi
melingkar (sesuai dengan arti kata Halaqah
dalam bahasa arab) dan mendengarkan kata demi kata kajian ilmu tauhid
dari seorang Ustad. Sebelumnya setelah
sholat Maghrib berjamaah dan berdzikir, sang ustad beserta jamaah tertentu
meninggalkan mesjid kerumah seorang jamaah untuk memberikan pelajaran tentang
ilmu Tasawuf. Siapakah Jamaah tertentu ini? mereka adalah para jamaah yang
mengikuti pelajaran ilmu tasawuf dari awal materi pelajaran terdahulu. Ustad
biasanya dengan ramah mempersilahkan keluar bagi jamaah yang ketahuan tidak
memenuhi syarat tersebut. Walau terkesan eksklusif, ‘’takut salah paham karena
tidak mengikuti dari awal” alasan sang Ustad, merupakan sebuah hal yang
tentunya dapat di terima. Berbeda dengan pembahasan ilmu fiqh pada hari selasa
ba’da Ashar bagi ibu-ibu majelis ta’lim dan ba’da isya untuk pembahasan ilmu
Tauhid yang bersifat terbuka bagi siapapun.
Siapakah sang Ustad? Ia adalah Al Ustad Awwab
AT Tamimi seorang keturunan Arab berasal dari kota Pontianak, namanya tidak lah
setenar Ustad-Ustad di kancah Kalimantan Barat apalagi sekala nasional namun ceramah-ceramahnya
cukup memukau, memberikan pencerahan bagi para jamaah. seperti biasa sebelum
membuka tausiyah, lantunan salawat yang sangat indah ia ucapkan dan di ikuti
bersama-sama para jamaah terkadang benar-benar ‘menghipnotis’, menumbuhkan
kerinduan dan kecintaan kepada Rasulullah, Muhammad SAW. Setelah selesai
bershalawat sang ustad membacakan do’a salah satunya ucapan para malaikat yang
di abadikan dalam surah Al Baqarah ayat 32 ‘’Subhanaka La Il Ma Lana Illa Ma Alam Thana
Innaka Antal Alimul Hakim” ‘’Maha Suci Engkau tidak ada pengetahuan bagi
kami selain apa yang engkau ajarkan
kepada kami sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui
lagi Bijaksana’.
Setelah
melakukan Shalawat dan Do’a barulah sang ustadz menyuruh salah satu jamaah
untuk membacakan sebuah kalimat dari sebuah buku kecil yang di susun sang
Ustad, barulah kemudian ia menjabarkan perihal pengertian kalimat tersebut.
Mirip dengan pengajian Kitab Al Hikam Karya Ibnu Ata’ilah yang membahas sebuah
kalimat atau ungkapan dengan penjabaran yang di dukung oleh Al Qur’an, Hadist,
Sunah pendapat Sahabat, maupun para ulama. Hal ini tentunya
sudah menjadi sebuah kebiasan yang sangat lumrah dalam dunia dakwah apapun bahasan nya baik
bidang fiqih, Tauhid, Tasawuf.
Ustad Awab AT
Tamimi sosok yang sangat menarik, ia memadukan unsur-unsur yang di anggap bagi
golongan tertentu saling bertentangan yaitu Syariah dan Tasawuf. Syariah merupakan sebuah
kumpulan hukum-hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an, Hadist dan pendapat
Ulama. Sedangkan Tasawuf menurut Hasan Al Basri (wafat 110 H) sebuah upaya
untuk menekankan kembali nilai-nilai spiritual dalam Islam. Bagaimana cara
menekankan kembali nilai-nilai spiritual dalam Islam sehingga mencapai puncak
tertinggi persinggahan Spritual (maqamat)?
Hasan Al Basri menempuh Jalur Al Bakkaun atau yang sering menangis, tak
lain dari sebuah manifestasi dari rasa takut akan siksa neraka. Tentunya hal ini
berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi
Dari Anas, Rasulullah berkhutbah, tidak
pernah saya mendengar suatu khutbah pun yang semacam itu, Beliau bersabda:
"Andaikata kalian mengetahui apa yang saya ketahui, niscaya kalian semua
akan sedikit tertawa dan banyak menangis." Anas berkata: "Maka para
sahabat mereka menutupi mukanya sambil menangis terisak-isak" (Muttafaqun
'alaih)
Berbeda dengan Hasan Al Basri, Rabiah Al
Adawiyah (wafat 185 H) menempuh jalur cinta dalam menjalin hubungan dengan
Allah. Terdapat sebuah hadist yang sangat populer di kalangan kaum sufi terkait
konsep cinta yang berbunyi
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, sesungguhnya Allah subhanahu wata'ala berfirman : "Barangsiapa
yang memusuhi kekasihKu, maka sungguh Aku telah mengumumkan perang terhadapnya,
dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih
Aku cintai daripada kewajiban yang Aku wajibkan, dan hambaKu senantiasa
mendekatkan diri kepadaKu dengan perbuatan sunnah hingga Aku mencintainya, maka
jika Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya,
dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, dan tangannya yang ia memukul
dengannya, dan kakinya yang ia berjalan dengannya, dan apabila ia meminta
kepadaKu pasti Aku memberinya, dan jika ia meminta perlindungan kepadaKu pasti
Aku melindunginya, Aku belum pernah ragu dari melakukan sesuatu, seperti
keraguanKu terhadap jiwa seorang mukmin yang tidak suka mati dan Aku pun tidak
suka menyakitinya". (HR. Bukhari)
Sayang pasca
peristiwa di hukum matinya seorang sufi Husein Ibnu Mansur Al Hallaj (wafat
304) dengan konsep cinta ala Rabiah Al Adawiyah karena konsep kebersatuan
dengan Allah, Tasawuf mengalami masa suram. Al Ghazali tercatat sebagai
pahlawan melalui kerja keras, charisma dan karyanya Ihya Ulum al –Din
menjadikan tasawuf keluar dari masa suramnya. Alwi Shihab (Shihab, 2004:215)
menulis berkat Al Ghazali pula Tasawuf memiliki landasan kokoh yakni Al Qur’an
dan Sunah, beroreintasi moderat sesuai dengan paham teologi Ahlissunah dan di
sejajarkan dengan disiplin Ilmu Kalam (teologi) dan hukum (fiqh). Fazlur Rahman
mengemukakan jika Al Ghazali gagal dalam upaya konseptualnya untuk
merekonsiliasikandan mengharmonisasikan Tasawuf dan Syariah maka Tasawuf akan
menjadi “agama” Sendiri.
Capaian besar yang telah dilakukan Al Ghazali
hingga kini tetap saja mengundang pandangan yang keliru terhadap Tasawuf.
Inilah yang di alami Al Ustad Awwab AT Tamimi ketika mengajarkan konsep tasawuf
melalui tarakat naqsyabandiah. Protes hingga ajakan debat dari kalangan ulama sekitar yang
mengedepankan cara pandang Syariah merupakan sebuah konsekuensi dari sebuah
perbedaan cara pandang. Perdebatan ini bukan hal yang baru, perdebatan ini tak
lain merupakan sebuah pengulangan sejarah, salah satunya di pelopori oleh ibn
Taymiyah (wafat 728 H). Ibn Taymiyah mengecam keras para sufi (penganut
tasawuf) karena di anggap menyimpang dari ajaran agama. Tak tanggung-tanggung
buku yang ia terbitkan untuk menyerang kalangan sufi di beri judul Talbis Iblis
(tipu Muslihat Iblis). Ajaran-ajaran Ibn Taymiyah mempunyai pengaruh kuat terhadap Abdul Wahab
salah satu pendiri dari ajaran Wahabisme di Arab Saudi. Hingga kini gerakan
tarekat dan kitab-kitab tasawuf termasuk karya Al Ghazali dilarang keras
memasuki kota Mekah dan Madinah. Namun larangan tersebut tidak berlaku bagi
Syekh Syadzili yang mengajarkan ajaran tasawuf melalui tarekat Syadziliyah di
wilayah Mekah. Azyumardi Azra menceritakan (Azra, 2000: 49) bagaimana halaqah
Syekh Syadzili selalu di penuhi oleh para jamaah. melihat fenomena tersebut,
Azyumardi Azra berkesimpulan ‘’doktrin Wahabiyah yang kering dan bersahaja
apalagi di tengah gurun yang kerontang ternyata gagal memenuhi tuntutan batin banyak muslim. Syariah dan Tasawuf
merupakan dua sisi yang tidak dapat di pisahkan dan bersumber sama-sama dari Al Qur’an dan Hadist,
Alwi Shihab mengungkapkan memperdebatkannya merupakan kekeliruan dan kebodohan
yang nyata.
Jika Syekh
Syadzili menjalankan misi apa yang di ungkapkan Azyumardi Azra sebagai memenuhi
tuntutan bathin banyak muslim, begitu pula bagi sang ustad ia memenuhi tuntutan
bathin penduduk sekitar, menjadi rujukan dan pencerah dengan ajarannya. Terkadang
penulis menggoda dengan melontarkan pertanyaan sang ustad untuk mengkotakan salah satu sisi (fikih)
keagamaan dengan menyadur kisah Imam Syafii yang menyatakan posisi sang penanya
tentang ilmu kalam berada pada taaran yaitu tempat di tenggelamkannya Firaun. Ustad
Awab AT Tamimi menjawab dengan subjetivitas Imam Syafei sebagai ulama fiqih
dengan tidak mengkritik pandangan imam syafei terhadap ilmu kalam.
Hampir 5
(lima) tahun (karena tugas dan pekerjaan) tidak pernah mengikuti halaqah,
muncul sebuah kerinduan, penghilang dahaga dengan setetes keilmuan. Teringat
dahulu penulis sering bertandang kerumah sang Ustad bersilahturahmi dan
mencari informasi dalam khazanah keilmuan keIslaman. ‘’bertobat, dan lakukan sholat malam minta
kepada Allah SWT membuka kan pintu ilmu” dan fase awal yang ia lalui dan sebuah anjuran
kepada penulis dengan menambahkan sebuah kalimat indah dari Imam Syafei yang di
sadur dari gurunya Imam Waki bin Jarrah ilmu itu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan
diberikan kepada orang-orang yang suka berbuat maksiat. Subhanallah