Sabtu, 10 Desember 2011
Jumat, 09 Desember 2011
Mengidentifikasikan seorang dengan “baik”
18.34
1 comment
Oleh : M. Jamil
Ketika kita bertanya dengan seseorang dikarenakan lupa, tidak mengetahui atau ingin mengetahui nama maupun alamat seorang, tentunya hal yang kita lakukan adalah mengidentifikasi seorang tersebut. Begitu juga dengan lawan bicara kita melontarkan pertanyaan-pertanyaan dalam rangka proses pengidentifikasian seseorang.
Pengidentifikasian seseorang dapat di artikan sebagai suatu proses pencarian tentang spesifikasi sesorang secara jelas baik nama, alamat dan lain sebagainya. Proses ini biasanya terjadi secara dua arah. Salah satu fungsinya yaitu untuk mengetahui informasi dalam rangka proses komunikasi maupun proses integrasi sosial.
Proses pengidentifikasian seorang di ikat oleh norma dan etika. Norma dan etika terkait dengan substansi maupun formalitas dari komunikasi dua arah tersebut. Formalitas terkait dengan penyampaian substansi komunikasi. Penyampaian yang santun terarah, tidak menggunakan bahasa tubuh yang merendahkan orang lain maupun lawan bicara. Substansi terkait dengan isi pembicaraan tentunya dengan tidak mengajukan ciri-ciri kelemahan fisik, kejahatan yang pernah dilakukan, dan hal-hal yang bersifat negative seorang yang di indifikasi.
Bagaimana proses Pengidentifikasian seseorang dalam masyarakat kita? Proses menentukan hasil, dari proses pengidentifikasian yang baik mengkedepan kan etika menentukan ‘’hasil’’ karakter suatu individu, masyarakat maupun bangsa.
saya memiliki pengalaman pribadi (dan mungkin juga anda) mengenai hal tersebut. Suatu hari seorang pria paruh baya bertanya kepada saya perihal nama teman saya yang pernah ia jumpai di suatu tempat. Saya sangat kecewa ketika pertanyaan pria paruh baya tersebut bertanya di mulai dengan formalitas dan subtansi pertanyaan yang kurang baik dan kurang meng enak kan .
Dari segi formalitas, pria paruh baya tersebut menggunakan bahasa tubuh yang mencontoh kekurangan fisik teman saya. Dari segi substansi ‘’bak pinang di belah dua” dengan segi formalitas, menggunakan bahasa yang mengarah kepada kekurangan fisik.
Bukan kali ini saya mendapatkan pertanyaan seperti itu dari seorang dalam hal pengidentifikasian teman saya. Tentunya hal yang menyakitkan jika pengidentifikasian diri kita oleh orang lain dengan mengkedepan ciri segala kekurangan kita baik fisik dan hal-hal negative. Dalam tahap tertentu dapat memicu konflik jika orang yang didentifikasi merasa tidak terima oleh perbuatan orang mengidentifkasi. Lebih tepatnya pengidentifikasian seorang yang tidak baik dan benar dapat menggangu stabilitas dalam kehidupan masyarakat
Nabi Muhammad pernah menegur Aisyah Ra, ketika Aisyah Ra mengidentifikasi Shafiyah Ra salah satu istri nabi dengan cara memberi isyarat dengan tangannya untuk menunjukan postur tubuh Shafiyah Ra yang pendek. Nabi Muhammad mengingatkan Aisyah untuk tidak berlaku demikian dan mengatakan kepada Aisyah ‘’engkau telah melontarkan kata yang jika kata itu dicampurkan kedalam air laut, maka akan menyebabkan seluruh lautan menjadi keruh.
Dampak pengidentifikasian seorang tidak mengedepankan etika sangat luas sehingga digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW menyebabkan seluruh lautan menjadi keruh.
Bukankah lebih banyak cara yang baik untuk melakukan proses pengidentifikasi seseorang ketimbang dengan cara yang tidak baik dari segi formal maupun substansi. Sebagai contoh lebih baik menanyakan ‘’siapa bapak yang menggenakan kostum bewarna hijau yang kemarin kita jumpai? Dari pada menanyakan siapa bapak yang berbadan kurus yang kemarin kita jumpai ?. lebih ber etika, lebih sopan dan terhormat tanpa menyinggung perasaan orang lain.
“Bisa karena biasa”, mulai dari sekarang mari kita memulai membiasakan diri melakukan proses pengidentifikasian seorang dengan baik. Dalam arti dari segi formal dan substansi. Kita bangsa Timur yang tersohor dengan sopan santun dan tata karma. Sebuah kalimat yang harus kita hidupkan dan maknai kembali.
Melakukan kesalahan? Sebaiknya Kita mulai dari sini!
17.53
3 comments
Oleh : M. Jamil
Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, sebuah adigium yang sangat lumrah dan sangat sering terlontar bagi setiap orang, sebagai perlipur lara maupun sebagai bagian dari proses peringanan kesalahan. namun hal terpenting dari itu adalah bagaimana merespon kesalahan tersebut.
Adalah Berndard Lewis yang menyatakan setiap orang jika melakukan kesalahan maka ia akan merespon dengan melakukan dua tindakan yaitu, pertama adalah bagaimana seharusnya kita bertindak atau bagaimana yang benar sedangkan yang kedua adalah siapa yang melakukan hal tersebut kepada kita. Seorang yang bijak dan mungkin setiap orang yang ingin belajar menjadi bijak akan memulai dengan point pertama, dengan bagaimana seharusnya bertindak atau bagaimana yang benar. Dengan bagaimana seharusnya bertindak atau bagaimana yang benar ini kita diajak “kesebuah alam” yang disebut introspeksi.
Instropeksi merupakan sebuah esensi dalam kehidupan, dalam agama Islam ciri orang yang cerdas adalah orang yang instropeksi, dalam bidang kesehatan tentunya introsepeksi salah satu cara menghindarkan diri dari stres, dalam ilmu politik instropeksi merupakan salah satu etika dalam bernegara, dan dalam ilmu Sosiologi, instropeksi merupakan salah satu perekat dalam kemajemukan masyarakat.
Namun terkadang sebagian masyarakat kita lebih memilih cara pandang yang kedua yaitu siapa yang melakukannya kepada kita. Tata cara seperti lebih menitik berat kan kepada faktor ekternal dengan kata lain melihat sebuah kesalahan yang telah dilakukan dengan terlebih dulu melihat faktor individu lain atau kelompok orang sebagai aktor utama penyebab kesalalahan.
Walhasil pendekatan ini tentunya akan mendatangkan permusuhan, rasa curiga, dendam, stres dan lain-lain sebagainya, yang mendatangkan lebih banyak mudharat dari pada kebaikan. Salah satu sebab kepopuleran menggunakan “mazhab” ini salah satunya sifat egois manusia yang terkadang lebih mendominasi dibandingkan nurani, tentunya tingkat pendidikan, bacaan, lingkungan mempunyai andil yang cukup signifikan.
Selain kedua cara pandang tersebut terdapat satu cara pandang lain yaitu kesalahan versus kesalahan sebuah cara pandang yang merespon kesalahan dengan berpendapat bahwa kesalahan tersebut juga dilakukan oleh orang lain dan ketika orang yang melakukan kesalahan tersebut mendapat sangsi maka orang tersebut akan meminta pemenuhan sangsi yang sama terhadap orang lain yang menurutnya belum atau tidak mendapatkan sangsi dengan melakukan kesalahan serupa.
Terkadang cara pandang ini muncul berkaitan dengan ketidakpercayaan terhadap konsistensi sebuah aturan maupun norma. Penggunaan cara pandang seperti ini sah-sah saja, namun yang menjadi pertanyaannya apakah sebuah kesalahan dapat ditutupi dengan jalan kesalahan? Khalifah Umar bin khatab mengungkapkan tidak mungkin menyelesaikan suatu kesalahan dengan kesalahan. Metode mempertemukan kesalahan dengan kesalahan dapat memperparah keadaan sebelumnya dan nyaris tidak menemukan solusi.
Cara pandang terhadap kesalahan sangat berpengaruh terhadap kemajuan bangsa, setidaknya sebuah penelitian yang dilakukan oleh Samuel Hutington dan Lawrance Harison yang berjudul ‘’Budaya punya pengaruh” menjabarkan tentang peran sentral dari budaya terhadap pembangunan suatu bangsa.
Selanjutnya mereka mengungkapkan bahwa kemajuan pesat jepang salah satunya tak lepas dari budaya orang Jepang dalam merespon kesalahan, mereka lebih memilih “bagaimana seharusnya” jika di timpa sebuah kesalahan dari pada menggunakan metode siapa yang melakukan maupun pendekatan kesalahan versus kesalahan.
Semoga saja anak bangsa negeri ini senantiasa menggunakan pendekatan atau metode bagaimana seharusnya atau bagaimana sebenarnya dari pada kedua metode tersebut sehingga berkontribusi pada kemajuan Bangsa dan Negara kita.
Langganan:
Postingan (Atom)